Tuesday, June 2, 2020

Mengapa Kuliah itu Penting . . .

Ada yang bilang, kuliah itu ngga penting. Ah, masak sih...

Let's talk about this!

Disclaimer: Apa yang saya tulis adalah opini saya berdasarkan apa yang saya alami selama kuliah sarjana.

Teman-teman, saat kita berbicara tentang kuliah, kita tidak hanya berbicara tentang belajar di kelas. Tetapi, kita belajar hidup.

Saya bisa bilang, bahwa ilmu dan pengalaman yang saya dapatkan selama kuliah 4 tahun ekstra 1 tahun (ehehe) lebih banyak dan berharga dari pada saat belajar di sekolah selama 12 tahun. Kok bisa? Mari simak baik-baik.

1. Kuliah tempat belajar Mandiri

Saat sekolah, keterlibatan guru dalam proses pembelajaran siswa masih sangat besar. Mulai dari menyediakan buku yang akan kita pakai di kelas, lalu menjelaskan materi di hampir 100% jam pelajaran, memberi penjelasan yang begitu rinci bahkan ada sebagian guru yang ingin memastikan bahwa semua siswanya betul-betul memahami materi yang dijelaskan, peduli dengan kehadiran/ketidakhadiran siswa, menjelaskan materi minggu lalu meski sudah lewat topiknya, memberi toleransi kepada siswa yang tidak mengerjakan tugas karena sebab tertentu, misal sakit atau organisasi, dsb, dan masih banyak hal lain yang melibatkan guru dalam pelaksanaannya. Jadi, guru masih sangat "memanjakan" siswanya.

Mari kita lihat fenomena di bangku perkuliahan. Sekali lagi apa yang akan saya sampaikan adalah berdasarkan pengalaman saya,tidak bisa digeneralisasi, bisa jadi di luar sana ada yang sama atau berbeda.

Saat pertemuan pertama di awal semester, dosen akan memberi mahasiswa kontrak perkuliahan. Apa itu? Yakni semacam "Kesepakatan" antara dosen dengan mahasiswa tentang pembelajaran yang akan dijalani selama satu semester. Jadi, mahasiswa diberi tau materi-materi yang akan diajarkan pada minggu pertama smpai minggu terakhir, termasuk kapan kuis (ulangan), uts, uas, penugasan dsb. Selain itu, dosen juga menawarkan persentase nilai/bobot dari masing-masing tugas, misal tugas 10%, uts 30%, uas 40%, dsb. Di sinilah mahasiswa memiliki kesempatan untuk menawar bobot tersebut, misalkan bobot uts 30%, apabila mahasiswa keberatan maka nilai persentasenya bisa diubah sesuai kesepakatan seluruh mahasiswa dan dosen.

Ada pelajaran yang bisa diambil di sini, bahwa mahasiswa diberi hak untuk terlibat dlm membuat keputusan yang menyangkut dirinya.

Selain kontrak perkuliahan, dosen biasanya akan memberi tau mahasiswa buku apa yang digunakan untuk perkuliahan tersebut. Ya, betul, mahasiswa diberi tau judul buku dan penulisnya, bukan disediakan bukunya layaknya siswa di sekolah. Selanjutnya, mahasiswa diberi kebebasan untuk membeli buku atau tidak, atau mencari referensi lain. Intinya, entah bagaimanapun caranya asal dpt membantu memahami materi.

Selain buku, cara yang sering dipakai dosen dalam menyampaikan perkuliahan adalah presentasi menggunakan powerpoint (ppt), video, atau media digital lainnya, tapi mayoritas menggunakan ppt. Dalam sekali pertemuan, biasanya membahas 1 bab. Pertemuan berikutnya, sudah ganti bab. Ganti bab ya, bukan sub bab.  Dalam waktu 100-200 menit atau bs jg lebih tergantung jumlah sks, dosen menjelaskan materi  ppt yg dirangkum dlm poin-poin penting. Ketika waktu habis, maka selesai pula sesi penjelasan untuk materi tersebut. Jadi, waktu di kelas adalah waktu emas karena dosen tidak akan mengulang di luar kelas ataupun di pertemuan selanjutnya krn sudah berbeda topik. Bagaimana kalau kita belum paham? Di sini mahasiswa dituntut mandiri untuk membaca referensi sebanyak-banyaknya, tidak hanya mengandalkan penjelasan dosen saat di kelas. Karena mayoritas dosen tidak mau menjelaskan materi ketika di luar kelas, meski sebagian kecil masih ada yg mau. Sebab, tugas dosen tidak hanya mengajar. Jika kita tidak memperhatikan dosen saat di kelas dan tidak pula membaca dari referensi lain saat di luar kelas, maka tingkat pemahaman mahasiswa terhadap suatu topik bs jd akan sangat kurang.

Kenapa seperti ini?

Saat kita menjadi mahasiswa, kita bukan lagi "anak" sekolah, karena mahasiswa dianggap orang dewasa yang (seharusnya) sudah mengerti apa yang harus dilakukan. Dengan kata lain, kalau kita ingin menguasai materi, ya pikirkan cara yg terbaik untuk diri kita.

Bagaimana dg Tugas ?

Dosen saat memberi tugas biasanya juga memberi waktu pengumpulan/deadline. Banyak dosen yang menerapkan peraturan ketat dalam pengumpulan tugas. Misal nilai tugas kosong jika telat mengumpulkan, atau pengurangan nilai, dsb. Ada dosen yang tidak peduli bagaimana mahasiswa mengerjakan tugasnya, misal dg belajar kelompok, atau mencontek itu semua urusan mahasiswa asal tugas dikumpulkan tepat waktu. Sekali lagi, karena mahasiswa dianggap orang yang mengerti apa yang mesti dilakukan. Sebaliknya, ada juga dosen yg sangat ketat, bila melihat ada jawaban yang sama, semua yg terlibat akan diberi nilai 0. 

Apabila kita tidak mengumpulkan tugas, maka otomatis nilai tugas 0. Kalau sakit, bagaimana? Sebagian dosen tidak peduli apa yg terjadi pada mahasiswa asal tugasnya terkumpul sesuai deadline. Tapi, sebagian lain, ada yg menanyakan kenapa tugas si A tidak ada. Jadi kalau ada mahasiswa yg sakit pas ada tugas, mhs tersebut harus konfirmasi dulu ke dosen trkait kondisinya, bisa jd dg begitu dosen akan memiliki kebijakan lain.
Lagi-lagi, mahasiswa yang harus mandiri dan inisiatif . Tidak bisa menggantungkan ke teman, saudara, atau keluarga, apalagi ke dosen ehehe. Ya, karena mahasiswa yang butuh. Sesimpel itu. . .

Contoh di atas hanyalah sebagian dari kemandirian saat kuliah/belajar. Itu pun, tidak berhenti di situ. Karena jika mahasiswa kuliah di perantauan, maka mereka juga dituntut mandiri dalam menjalankan hidup. Mulai urusan perut, biaya kuliah, print, event, biaya kos, mencuci baju, piring, bersih-bersih dsb. 

Termasuk, mandiri saat menyelesaikan masalah. Ini pelajaran baru buat saya yg begitu menempel. Saya hidup di perantauan. Banyak hal tak terduga yg biasanya mudah diselesaikan saat masa sekolah menjadi tak mudah saat kuliah. Misal perihal hubungan pertemanan, dengan teman kuliah, dengan teman kos, dengan ibu kos, dengan tetangga ataupun dosen. Coba deh tanya ke kenalan kalian, pasti ada aja masalah ketidakcocokan ini. Apa kemudian ketika merasa tidak cocok dg 1 atau 2 orang kita langsung bs pergi begitu saja? Iya, kalau org itu tdk berperan penting dlm keberlangsungan kuliah kita. Kalau berperan penting, bagaimana?  Sekali lagi, kita dituntut untuk menyelesaikan masalah kita sendiri. Kita tdk bs melibatkan orang tua, saudara, atau keluarga dlm hal ini. Kita yg harus menyelesaikan. Ndak bisa tiba-tiba  lari dr masalah, krn kebanyakan ini menyangkut keberlangsungan kuliah dan hidup kita di perantauan. Keadaan yg memaksa spt ini membuat kita mnjdi mandiri dan tidak lembek ketika ada kesulitan.

Jadi, kuliah merupakan masa-masa saat mental kemandirian kita dilatih. Agar diri kita mampu diandalkan. Dan agar kita tidak mudah bergantung kepada orang lain. Be Independent. Temen-temen ada opini juga kah tntg kemandirian ? :)

Ruang Praktikum biologi dasar, laboratorium biologi FST Unair
Di Ruang Praktikum Biologi, FST Unair



2. Kuliah tempat belajar Bertanggung Jawab


Banyak peristiwa saat kuliah yang menuntut kemampuan tanggung jawab kita. Secara akademik, mahasiswa memiliki tanggung jawab untuk belajar dengan baik. Bukannya gampang, belajar aja? Tidak semudah itu, fergusoo.
 Belajarnya gampang, ngilangin malesnya, nyisihin waktunya, memulai buka bukunya, pegang laptopnya, ngurangin egonya, nahan kantuknya, itu lo yang sulit. Terlebih banyak kegiatan yang bisa diikuti mahasiswa di luar kelas, misalnya seminar, workshop, ekskul, lomba atau bahkan  maen game, ngemall, tiduran, liat drakor, dan godaan-godaaan lain yang membuat fokus dlm belajar saat kuliah tidak semudah itu. Apalagi tdk ada yg mengingatkan / moodbooster krn jauh dr org tua dan saudara. Kalau kita tidak bisa membagi waktu dengan baik, tidak pula ingat akan tanggungjawab utama seorang pelajar, ya belajar tinggal jadi angan :'

Nah, kuliah menjadi saat kita belajar untuk bertanggungjawab kpd orang tua kita yg telah membiayai. Kalau beasiswa, gimana? Justru kalau kita mendapat beasiswa tanggungjawab kita jauh lebih besar, krn uang yg kita pakai bukan hanya uang satu bapak dan satu ibuk, tapi uang hasil keringat dari ribuan keluarga yang telah menyisihkan hasil kerjanya berikut harapan yg menyertainya.
Itu tadi masih secara akademik.  Lalu, tanggung jawab lainnya apa?

Jika mahasiswa mengikuti organisasi, biasanya ia akan mendapatkan tanggungjawab sesuai posisi yg ditempati, atau bertanggung jawab merealisasikan program kerja yang sedang dikerjakan. Ini sangat tidak mudah, sebab biasanya dlm kegiatan, banyak orang yang terlibat berikut karakter dan pembawaan masing-masing. Jadi, bagaimana tiap individu bisa saling bekerja sama  dan bertanggung jawab atas tugas yang diberikan. Bahkan jika posisi kita ketua atau koordinator, bisa jadi kita juga bertanggungjawab atas pekerjaan orang lain. Tangungjawab adalah ilmu praktis. Semakin dilatih semakin kita terbiasa dan mampu bertanggungjawab dengan semakin baik. Sebaliknya, tanggungjawab tidak akan muncul dengan sendirinya jika kita hanya mempelajari teorinya saja. Nah organisasi, kepanitiaan, kegiatan ekstra yg ada di dunia perkuliahan menjadi wadah dan kesempatan bagi mahasiswa untuk mengetes rasa tanggungjawabnya

Aksi Lingkungan 2016 HMTL Unair
Teman-Teman Enviro 8 yang juga panitia Aksi Lingkungan 2016 HMTL Unair


Banyak kesempatan saat kuliah yang bisa melatih sikap tanggungjawab kita, misal mengikuti kepanitiaan, menjadi asisten dosen, menjadi pengurus organisasi, ikut terlibat dlm proyek dosen, dsb. Atau jika kita hidup bersama kos atau asrama, banyak kesempatan untuk belajar bertanggungjawab. Sekali lagi, ini tergantung kemauan kita. Kita bisa memilih untuk belajar bertanggungjawab dengan mengikuti berbagai kegiatan dan organisasi tersebut. Atau sebaliknya, santai-santai tiduran di kos sambil liat drakor :) Yang menanam tentu yang akan memanen, kan ? :)

Waktu kuliah 4-6 tahun menjadi masa yg cukup panjang dlm proses pembelajaran tanggungjawab dg tingkatan yg terus naik. Saat mahasiswa baru (maba) misalnya, mungkin tanggungjawab kita masih sebagai staf, bertanggungjawab menjalankan tugas yg diberi atasan. Tahun kedua kuliah, bisa jd posisi kita ganti koordinator yg memiliki staf. Tentu tanggungjawab kita meningkat. Kita bertanggung jawab atas kinerja staf di divisi kita. Tahun berikutnya, bs jadi kita menjadi ketua organisasi yg membawahi banyak koordinator dan staf serta bertanggungjawab atas suksesnya banyak program kerja. Ini yg saya sebut medan perang. Semakin bnyak perang yg kita lakukan, semakin hebat trackrecord kita, semakin lanyah sikap tanggungjawab yg kita miliki.

Environmental Festival 2016 HMTL Unair
Saat menjadi Sie Sponsorship di Environment Festival 2016 HMTL Unair


Yakinlah, seiring bertambahnya usia, bertambahnya semester, bertambah banyak dan kompleks pula masalah kita. Tentu kita orang yang paling bertanggung jawab menyelesaikan masalah di hidup kita.


3. Kuliah tempat Meningkatkan Kemampuan Berfikir dan Membuat Keputusan

Perbedaan mencolok yang saya rasakan saat kuliah dan sekolah adalah pengembangan kerangka pikir saat proses transfer materi. Saat sekolah, saya merasa lebih banyak diberi tau. Tetapi saat kuliah, saya merasa lebih banyak mencari tau. Mungkin karena penjelasan dosen yg mampu membuat mahasiswa menjadi berfikir dan kemudian bertanya, kok bisa seperti itu. Mungkin jg karena banyaknya materi dan terbatasnya waktu mnjdikan bnyak hal yg tdk tersampaikan saat di kelas dan kita harus mencari tau sendiri di luar kelas. Mungkin juga karena, porsi ceramah dosen yg lebih singkat, dan memperbanyak porsi diskusi.

Ini menarik menurut saya. Diskusi mengajarkan banyak hal. Ada pemateri, pemantik, dan peserta. Dalam diskusi tentu pembicaraan tidak hanya satu arah. Ada feedback yg diberikan. Ada sanggahan, ada yang ingin melengkapi. 


Saat banyak kepala dg isi yg berbeda-beda dipertemukan dalam sebuah forum, tentu akan melatih kemampuan berpikir kita. Barangkali si A memiliki pemikiran yg tdk dimiliki si B yg kemudian memperkaya perspektif si B. Atau barangkali si C yg awalnya tak punya ide mendengar pendapat si D menjadi punya ide.  Atau si X yg pendapatnya sangat kontradiktif dg pendapat si Y. Pernah ngga sih kita berfikir, kok bs ya orang setuju dg suatu hal yang kita tidak menyetujuinya? Logika apa yg sedang dipakai? Kok bisa org berfikir dr sudut pandang A? Kok saya tidak kepikiran. Semakin banyak peserta barangkali menjadikan semakin kaya perspektif kita, bertambah pula kemampuan berpikir kita. 

Rapat-rapat dalam suatu kepanitian, ngobrol dengan teman, diskusi tentang suatu hal, adu argumen dlm kelas, itulah hal-hal yg dapat menajamkan kemampuan berpikir mahasiswa, bukankah otak layaknya pisau yang  jika semakin diasah akan semakin tajam? Bukankah pisau yg tak pernah dipakai akan menjadi tumpul? Kiranya demikian jika kita jarang mengetahui perspektif orang lain, otak kita akan tumpul dan terkungkung dalam perspektif kita sendiri.

Kemampuan berpikir inilah yg nantinya menjadi bekal saat kita dihadapkan dalam suatu masalah dan dituntut untuk membuat keputusan. Saat mengasah kemampuan berpikir, kita berusaha keras memikirkan suatu hal dr sudut pandang A, B, C, sebanyak sudut pandang yg bisa kita lihat.
Akhirnya kita terbiasa untuk melihat satu hal dari banyak perspektif. Ketika harus membuat keputusan, org yg terasah kemampuan berpikirnya, tentu tidak akan terburu-buru dalam mengambil keputusan. Banyak perspektif yg ia gunakan. Bagaimana jika memilih opsi A, apa dampaknya, apa manfaatnya. Apa mudharatnya. Bagaimana pula jika opsi b, c atau d dst yg diambil. Tentu keputusan yg diambil tergesa-gesa dg keputusan yg dipikir matang baik buruknya, dan dg mempertimbangkan bnyak hal akan memiliki dampak yg berbeda.

Abdi Desa HMTL Unair 2016 di Desa Pucukan, Sidoarjo
Abdi Desa HMTL Unair 2016 di Desa Pucukan, Sidoarjo


Kuliah juga menjadi wadah bagi mahasiswa untuk terbiasa mengambil keputusan. Mulai keputusan untuk belajar saja atau sambil berorganisasi. Ikut satu organisasi atau ikut juga kepanitiaan. Kuliah aja atau kuliah sambil kerja. Ikut kegiatan ekstra apa ngga. Tinggal di kos atau di asrama, sampai dg keharusan mngambil keputusan saat menjalankan program kerja yg melibatkan langsung masyarakat. Terbiasa dalam membuat keputusan menjadikan mahasiswa terlatih untuk memutuskan hal yg berat dan bisa belajar dari baik/buruknyaa keputusan-keputusan yg pernah dibuat sebelumnya.

4. Kuliah tempat belajar Optimis Mencoba Hal Baru & Berani Melawan Ketakutan dan Keraguan

Saat kuliah, banyak hal-hal baru di hidup saya yang awalnya saya tidak pernah terfikirikan untuk melakukannya  dan juga tidak menyangka bisa merealisasikannya, Ternyata, bisa lho ...

Himpunan Mahasiswa Teknik Lingkungan Unair 2016
Bersama teman-teman dan kakak tingkat pengurus HMTL Unair 2016


Tahun pertama saya kuliah (maba), saya mengikuti organisasi dengan menjadi staf Pengabdian Masyarakat di Himpunan mahasiswa jurusan. Untuk pertama kalinya, saya kembali mengikuti sebuah organisasi setelah terakhir kali saya aktif di OSIS saat SMP. Untuk pertama kalinya juga, saya mendapat amanah untuk menjadi penanggung jawab salah satu proker di himpunan tersebut. Saya sangat ragu mulanya. Saya juga sangat takut, jujur saja lama tidak mengikuti organisasi membuat saya kaku saat dihadapkan sebuah tantangan baru. Saya sudah berniat mundur. Tetapi, kepala divisi saya (yang pernah saya ceritakan di artikel Menggapai Impian ke Jepang) begitu yakin dan meyakinkan saya kalau saya bisa. Saya sebut merk ya, namanya mbak mia ehehe (Thank u mbak ❤ ). Mbak mia telaten banget mengarahkan saya (ngasih briefing) step by step apa yang harus saya lakukan sebagai penanggungjawab. Saya melihat,mbak mia tidak sedang menganggap saya maba karena saya tidak melihat keraguan sedikitpun ketika mbak mia memberi jobdesk pertama saya (ini sudut pandang saya, ya).  Beberapa kali kita ngobrol, akhirnya saya beranikan dan yakinkan diri saya untuk, oke i'll do it!

Dalam perjalanannya tidak mudah, mulai mengajak teman-teman (notabenenya adalah teman-teman yg baru saya kenal di perkuliahan) untuk bergabung menjadi panitia. Saya belajar bagaimana memimpin sebuah rapat. Saya pernah hampir menyerah, ketika saya sulit mempertemukan berbagai pendapat dari banyak teman saat rapat. Saya pun kesulitan untuk membuat keputusan. Ada kakak tingkat (kating) yang menyadari kebingungan saya ini. Ia ngajak ngobrol saya face to face untuk memberi briefing, tips, bagaimana menghadapi situasi seperti itu.

This! Ketika kita berani mengambil keputusan, artinya kita harus berani menghadapi kesulitan dan resiko atas keputusan yang kita ambil

Dengan adanya kesulitan tersebut, kita tidak tau tiba-tiba ada saja jalan keluar/pertolongan yg datangnya bs dr siapapun yang membuat kita bisa menyelesaikan kesulitan yang ada. Akhirnya kita jadi belajar hal baru. Kalau kita tidak berani mengambil keputusan untuk mencoba hal baru, tentu kita tidak pernah bertemu dg kesulitan tersebut. Artinya tidak bertambah pengalaman dan pelajaran baru dalam hidup.

Masih dalam perjalanannya, saya juga banyak dibantu teman-teman panitia (Terimakasih temen-temen ev8) dalam menyelesaikan masalah yg ada. Bantuan datang melalui saran mereka, tenaga, relasi, pengalaman mereka yang akhirnya kita berhasil melaksanakan proker tersebut. Teman-teman saya tidak sungkan untuk mengungkapkan kekurangan saya, misal saya kurang tegas, kurang cakcek (gesit), kurang koordinasi, kurang disiplin, dan kekurangan-kekurangan lainnya. Hal itu ternyata menjadi bekal yang amat sangat berharga bagi saya dalam proses belajar berorganisasi di kemudian hari (Thank you all ❤ )

Jadi, memang tidak semuanya bisa berjalan dengan baik, mulus, sempurna, terlebih jika itu pengalaman pertama kita. Tapi, setidaknya, hal itu bisa menjadi bekal untuk pengalaman kedua, ketiga, keempat, dst. Karena jika kita tidak pernah mencoba, semua hal akan terus menjadi pengalaman pertama, tidak ada pengalamn baru, dan kita terus terkungkung dalam ketakutan yang kita bikin sendiri.
Ayo gaes, jangan takut mencoba hal baru. Kalahkan ketakutan yang jangan-jangan itu hanya ruwwwett di pikiranmu sendiri. Karena memang itu yang saya rasakan sebelum proker dimulai. Takut gagal, takut mengecewakan banyak orang, takut berhenti di tengah jalan (mandek), buktinya ndak seserem itu tho, malah proker berjalan dg baik (hamdalah) dan saya dapat ilmu, pengalaman, dan relasi baru.

Airlangga Bangun Desa BEM UNAIR di Jolosutro, Blitar, Jawa Timur
Airlangga Bangun Desa BEM Unair 2017 di Jolosutro, Blitar


Pengalaman pertama tersebut, menjadi bekal yg begitu berharga bagi saya saat saya kembali diberi amanah sebagai penanggungjawab di proker yg skalanya lebih besar, di mana panitianya datang dari kalangan junior sampai senior dari fakultas yang berbeda-beda. Anggaran yang tinggi juga mengindikasikan bahwa ada tanggungjawab moral yang mesti diemban, terlebih proker ini melibatkan masyarakat langsung. Meski masih nervous, tapi setidaknya saya tak lagi kikuk saat harus memipin rapat, mengkoordinasikan teman-teman, berdiskusi, bagaimana cara berkomunikasi dg lawan bicara dengan karakter yang berbeda-beda. Pengalaman pertama betul-betul mempermudah jalannya pengalaman selanjutnya., meski tak selalu hasilnya sempurna dan menyenangkan banyak orang. Setidaknya, ketika kita telah berada di lapangan, kita menyadari bahwa tidak mudah menjalin kerja sama dengan orang lain, jadi butuh banyak latihan. Sekali lagi, bukan berarti setelah mendapat pengalaman saya menjadi sok bisa, justru semakin kita bertambah pengalaman, semakin kita menyadari kekurangan dan kelemahan diri kita. Betul itu,, Sungguhh.... Nah kesadaran atas kekurangan inilah yang bisa kita jadikan bahan perbaikan saat dapat challenge baru (lagi). Ya, begitulah hidup, Selalu ada challenge atau masalah baru dalam hidup agar kita terus belajar.

Airlangga Bangun Desa BEM Unair 2017 di Jolosutro, Blitar
Airlangga Bangun Desa BEM Unair 2017 di Jolosutro, Blitar


5. Kuliah Memahamkan Arti Mental yang Sebenarnya

Teman-teman, sebelum kuliah saya betul-betul tidak paham ketika ada orang lain bilang ga punya mental atau mentalnya tempe, atau perkembangan mentalnya kurang bagus, atau apapun itu yang menyebut kata mental. Sebab, saya sendiri belum memahami mental itu apa..

Jadi, mental itu apa . . . ?


Leadership Training HMTL Unair 2016 di ARMATIM Surabaya
Leadership Training HMTL Unair 2016 di ARMATIM Surabaya 


Saat pertama kali saya diberi tugas menjadi penanggung jawab, saya takut sekali ngga bisa. Tapi, saya memilih melawan ketakutan saya. Saat saya ikut Sakura Program Exchange ke Jepang (baca Menggapai Impian ke Jepang, ehehe promosi dikit), saya tidak pernah lolos seleksi. Tapi, saya ngotot yakin, meski saya tau yg kepilih hanya satu orang. Sekali lagi, saya memilih yakin dan tetap berikhtiar. Saat saya memutuskan ikut Program AYCE ke Singapore (ini juga ada artikelnya) padahal saya sadar ngga punya uang dan belum tau caranya, saya tidak memutuskan mundur. Sebaliknya, saya memilih untuk tancap gas. Saat teman-teman saya menghindari dan berdoa agar tidak mendapat dosen x sebagai pembimbing skripsi, saya menyalakan nyali dengan mengajukan dosen x sebagai pembimbing skripsi saya. Saat saya terseok-seok dalam perjalanan skripsi yang ngga kelar-kelar dan ada pilihan untuk ganti dosen pembimbing (jika mau dan jika disetujui), saya memilih melanjutkan apa yang saya mulai. Semua yang saya sebutkan itu sangat tidak mudah dalam proses pengambilan keputusan dan perjalanannya. Satu yang saya pikirkan pada saat-saat tersebut. Bahwa apabila saya tidak mencoba, maka saya tidak akan pernah tau hasilnya. Itu prinsip yang begitu menguatkan saya.

Pondok Pesantren Tahfidzil Qur'an (PPTQ) Ikhwan Al-Haromain Surabaya
Bersama keluarga PPTQ Ikhwan Al-Haromain


Saya perhatikan pola-pola di setiap peristiwa dalam hidup saya. Saya ingat dan pelajari nilai apa yang saya dapat setelah suatu peristiwa saya alami. Kemudian perlahan saya mulai sadar, bahwa saya telah belajar melawan ketakutan. Saya mengambil jalan sulit bukan maksud menyengsarakan diri sendiri, melainkan agar kerikil-kerikil yang akan saya temui tak mampu menjatuhkan diri saya. Saya belajar untuk bertahan dalam kesulitan dan ketidakpstian akan berhasil atau tidaknya usaha kita. Saya belajar meyakini pilihan yang saya ambil, menjalaninya dengan sepenuh hati sebagai rasa tanggungjawab atas pilihan yg diambil dan tidak menyalahkan diri apabila gagal. Saya belajar menyerahkan segala sesuatunya kepada Tuhan sebagai wujud kepercayaan saya akan kebesaranNya. Saya belajar untuk jangan berkata "Tidak bisa" sebelum mencobanya. Saya belajar melapangkan dada ketika banyak peristiwa yang membuat dada sesak. Saya belajar kuat dari setiap ujian yang Tuhan kasih dengan cara tersenyum dan menahan umpatan saat menjalaninya.Saya belajar tidak mudah menyerah meski jiwa dan raga telah lelah. Saya belajar untuk tidak mudah kaget ketika ada batu sandungan di setiap perjalanan. Saya belajar dari teman, dosen, senior, junior, melalui kegiatan dan peristiwa yang terjadi selama hampir 5 tahun saya kuliah di perantauan. Harapan saya, semua itu dapat mendewasakan pikiran dan tingkah laku saya. Pada akhirnya semua itu membawa saya memahami bahwa setiap peristiwa yang datang di hidup kita sebagai media pembelajaran. Ini yang kemudian saya pahami sebagai Mentalitas. Sebuah seni dalam berpikir, bersikap, belajar dan merespon hal-hal yang datang di kehidupan kita.

Pantai Jolosutro Bitar
Bersama teman-teman panitia Airlangga Bangun Desa BEM Unair 2017 di Pantai Jolosutro, Blitar



6. Kuliah tempat Belajar Berproses, Mengenali Jati Diri, dan Menempa diri sebagai Bagian dari Proses Menuju Kedewasaan.


Banyak kesempatan saat kuliah yang menjadi wadah mahasiswa untuk berproses. Kampus barangkali layaknya mall yang komplit dengan toko-toko yang siap menyediakan produk-produk kehidupan. Mulai pembentukan pola pikir, kesabaran dalam berproses, membangun komunikasi dengan orang lain, belajar bekerjasama dengan orang-orang berbeda karakter, memperbanyak relasi, menimba ilmu, bekerja di bawah tekanan, bertanggungjawab, dan masih banyak produk (nilai) kehidupan lainnya.  Semua nilai-nilai itu kita dapatkan dari belajar dan diskusi di kelas, kerja keras saat menjadi panitia di suatu acara, saat bekerja dengan dosen melalui proyek-proyeknya dengan segala tekanan yang ada. Ada banyaakk sekali aktivitas yang bebas diikuti mahasiswa. Tapi, tentu tidak semuanya akan dipilih. Nah, saat proses memilih, mencoba hal baru, kemudian menjalani apa yg telah dipilih, saat itulah mahasiswa bisa menilai apakah mereka menjalani prosesnya dengan hati atau tidak.

Pun dengan saya. Saya sangat menikmati berorganisasi. Saya juga senang dan menikmati proses ngobrol dan diskusi. Saya juga sungguh menikmati ketika bisa terjun langsung ke lapangan melibatkan diri dalam kegiatan bersama masyarakat. Saat banyak teman saya yang heran ketika saya mengambil keputusan yang mereka hindari, saya tersenyum dan menjawab keheranan mereka dengan mengatakan bahwa saya menikmati proses dari keputusan yang saya ambil. Mungkin mereka tidak memahami keputusan saya, tapi saya sangat memahami apa yang saya putuskan. Saya semakin mengenali kemauan saya, dan mulai menemukan ruang-ruang di mana saya bisa berkarya dari hati serta menikmatinya. Semua saya dapatkan dari kesempatan kuliah di perantauan.


Panitia Airlangga Bangun Desa BEM Unair 2017 di Jolosutro, Blitar
Bersama teman-teman panitia Airlangga Bangun Desa BEM Unair 2017


Kesempatan berkuliah adalah kesempatan emas saya untuk belajar hidup. Yang, pada akhirnya saya mulai rasakan hasilnya ketika kini dihadapkan pada beragam peristiwa. Saya mulai berpikir untuk terus berproses menjadi dewasa. Bagi saya, dewasa tidak ada batasnya. Jadi, berproses dalam menuju kedewasaan adalah keniscayaan yang mesti dijalankan selama raga masih bernyawa. 


Panitia Airlangga Bangun Desa BEM Unair 2017 di Jolosutro, Blitar
Bersama teman-teman panitia Airlangga Bangun Desa BEM Unair 2017


hmmm. . . .

Coretan yang begitu melelahkan,
Tapi begitu menyenangkan bisa berbagi apa yang ada di pikiran,

Terimakasih teman-teman yang telah terlibat dalam dunia perkuliahan saya,
Terimakasih  karena kalian telah terlibat dalam proses belajar pendewasaan diri saya,

Terimakasih teman-teman yang sudah membaca,

Semoga ada nilai baik yang menetap di hatimu dan berguna di hidupmu ❤

Sampai jumpa di coretanham berikutnya yaaa....

#CoretanHam
#Let'sInspire









No comments:

Post a Comment